Kisah Umar bin Abdul Aziz dan Anaknya
- NAX IPA
- Feb 17, 2018
- 3 min read
Updated: Feb 21, 2018

Oleh: Adiba Imani Salsabila
Umar bin Abdul Aziz adalah seorang khalifah yang dilahirkan pada tahun 63 Hijrah di Madinah dan masih keturunan Khalifah Umar Al-Khatab. Beliau menjadi penghafal Al-Quran sejak kecil dan pernah berguru kepada berbagai tokoh terkenal seperti Imam Malik bin Anas. Pada usianya 34 tahun, beliau ditunjuk menjadi khalifah keenam Bani Umayyah.
Tersebutlah kisah ini yang terjadi setelah Umar bin Abdul Aziz mengebumikan jenazah khalifah sebelumnya, Sulaiman bin Abdul Malik. Datanglah kendaraan-kendaraan yang disiapkan untuk mengantar Umar bin Abdul Aziz pulang dari tempat penguburan.
“Ada apa ini?” Tanya Umar bin Abdul Aziz.
“Ini adalah kendaraan-kendaraan khalifah wahai Amirul-Mukminin yang telah dipersiapkan. Sudi kiranya Anda menaikinya,” Jawab mereka
Beliau yang semalam suntuk tidak tidur berkata dengan terputus-putus, “Apa urusanku dengan kendaraan ini?! Jauhkanlah ia dariku, semoga Allah memberkahi kalian. Dekatkan saja bighal milikku, karena itu cukup bagiku.”
Beberapa saat kemudian, Umar bin Abdul Aziz yang sedang mengendarai bighal tiba-tiba didatangi sekumpulan prajurit yang mengelilingi beliau. Mereka berbaris di sampingnya sambil membawa tombak-tombak yang berkilauan.
Umar bin Abdul Aziz berkata kepada kepala prajurit tersebut, “Aku tidak membutuhkan anda dan juga mereka. Aku hanyalah orang biasa dari kaum muslimin, berjalan sebagaimana mereka berjalan.”
Lalu beliau berjalan dan orang-orang pun berjalan hingga sampai ke masjid, lalu dikumandangkanlah adzan. Khalifah Abdul Aziz berkata,”Solat berjamaah, solat berjamaah.”Lalu manusia memenuhi setiap sisi di dalam masjid. Setelah manusia berkumpul, Umar bin Abdul Aziz naik mimbar dan berkhutbah. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya lalu mengucapkan shalawat atas Nabi kemudian berkata:
“Wahai manusia, sesungguhnya aku telah mendapat musibah dengan urusan ini (yakni diangkatnya beliau sebagai khalifah), tanpa pertimbangan dariku, tanpa aku memintanya, tanpa musyawarah di antara kaum muslimin, maka aku lepaskan bai’at yang melilit leher kalian dariku. Silakan kalian memilih pemimpin lagi yang kalian ridhai.”
Seseorang dengan suara keras berkata: “Kami telah memilih Anda Amirul-Mukminin dan kami redha. Kami telah menggantungkan harapan keberuntungan dan keberkahan kepadamu.”
Melihat rakyatnya yang tenang dan tenteram, Umar bin Abdul Aziz memanjatkan syukur kepada Allah s.w.t berulang-ulang kali dan mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad s.a.w. Beliau menasihati rakyatnya agar selalu bertakwa kepada Allah dan mengingatkan mereka akan hari akhirat serta kematian. Nasihat itu begitu kena di hati sehingga ada yang menangis ketika mendengarnya.
Beliau berkata lagi: “Wahai manusia, barangsiapa yang taat kepada Allah, maka wajib untuk ditaati dan barangsiapa yang memerintahkan maksiat maka tiada ketaatan kepadanya siapapun dia. Wahai manusia, taatilah aku selagi aku menaati Allah dalam memerintah kalian. Namun jika aku bermaksiat kepada Allah, maka tiada kewajiban sedikit pun bagi kalian untuk menaatiku.”
Sehabis menutup khutbahnya, Umar bin Abdul Aziz turun dari mimbar dan bergegas pulang ke rumahnya. Beliau masuk ke kamar untuk beristirahat. Ketika itulah putranya, Abdul Malik—yang pada saat itu berumur 17 tahun—mendatangi beliau dengan berkata: “Apa yang ingin Anda lakukan, wahai Amirul Mukminin?”
“Wahai anakku, aku ingin memejamkan mata barang sejenak karena sudah tak ada lagi tenaga yang tersisa,” kata Umar bin Abdul Aziz pada anaknya.
“Apakah Anda akan tidur sebelum mengembalikan hak orang-orang yang dizalimi wahai Amirul-Mukminin?” tanya Abdul Malik kepada Ayahandanya.
“Wahai anakku, aku telah bergadang semalaman untuk mengurus pemakaman pamanmu Sulaiman, nanti jika telah datang waktu Dzuhur aku akan shalat bersama orang-orang dan akan aku kembalikan hak orang-orang yang dizalimi kepada pemiliknya, Insya Allah.”
“Siapa yang menjamin bahwa Anda masih hidup hingga datang waktu zuhur wahai Amirul Mukminin?”
Kata-kata Abdul Malik menghilangkan rasa kantuknya dalam sekejap dan membakar semangatnya. Mengembalikan tenaga dan kekuatannya yang telah terkuras lelah.
“Mendekatlah, nak!” kata Umar bin Abdul Aziz. Lalu mendekatlah Abdul Malik. Beliau merangkulnya dan mencium kening putranya sembari berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mengeluarkan dari tulang sulbiku seorang anak yang dapat membantu melaksanakan agamaku.”
Kemudian beliau bangun dan memerintahkan untuk menyeru kepada manusia, “Barangsiapa yang merasa dizalimi hendaklah segera melapor.”
Umar bin Abdul Aziz kemudian menjadi salah satu khalifah yang mengutamakan keadilan dalam pemerintahannya. Seluruh rakyatnya diperlakukan sama rata, tidak berdasarkan keturunan atau pangkat. Selama masa pemerintahannya selama 2 tahun 5 bulan, kerajaan Umayyah semakin kuat karena tidak terjadi pemberontakan, kurang terjadi penyelewengan, rakyat mendapat layanan yang selayaknya sehingga Baitul Maal penuh dengan harta zakat disebabkan tidak ada yang layak menerima zakat. Kondisi penduduk saat itu sangat sejahtera.
iKisah ini adalah bentuk kewajiban Birrul Walidain (bakti kepada orang tua) Abdul Malik terhadap ayahandanya, Umar bin Abdul Aziz. Beliau yang berusia relatif singkat, kurang dari 20 tahun, tidak segan untuk menegur ayahnya, mengingatkan tanggungjawab besar atas rakyat yang dipimpinnya. Nasihat-nasihatnya secara tidak langsung membuat ayahnya menjadi seorang pemimpin yang adil dan dihormati.
Comments